SBY Antek-antek Neoliberalisme?, Neokolonialisme?

Penundaan kenaikan BBM melalui rapat paripurna 31/03/2012 dituding banyak pihak
hanya pencitraan politik, karena pada dasarnya tanpa paripurna pun eksekutif
dalam hal ini presiden dapat menaikkan BBM tanpa persetujuan DPR. Kemunculan
Pasal 7 ayat 6a disebut sebagai ayat siluman tidaklah begitu adanya ayat itu
memang sudah lama ada tapi baru dimunculkan pada rapat paripurna itu.
Pasal 7 ayat 6a itulah payung hukum SBY untuk menaikkannya tanpa perlu
menghebohkannya di rapat paripurna.

Pada malam Paripurna salah satu stasiun tv swasta memutar film tentang
penyaderaan kereta api di New York, USA. Pusat Neoliberalisme dunia.

Entah ini sinyal atau bukan dari pemilik stasiun TV pastinya di film
itu diceritakan kalau alasan penyaderaan kereta Api oleh teroris itu
untuk meminta tebusan uang kepada walikota New York, tapi belakangan
diketahui kalau tujuan penyanderaan itu untuk membuat gejolak dipasar
saham New York. dan itu memang terjadi harga-harga saham turun, dan
harga emas meningkat tajam, dari gejolak harga itulah penyandera
ternyata seorang bekas pialang menndapat keuntungan hingga jutaan
dollar jauh lebih besar dari tuntutan uang tebusan kepada walikota.

Gejolak Demonstrasi kenaikan BBM di indonesia pun seperti itu selama
dan pasca ditundanya kenaikan BBM itu mampu mendongkrat harga saham
berhubungan dengan minyak, dan harga saham IHSG indonesia menjadi 1200.

Gejolak Demonstrasi BBM berhubungan dengan Neoliberal bisa dilihat pada
banyaknya penimbunan baik itu oleh oportunis maupun oleh pure neolib.
yang ketiban sial mungkin oportunis eceran yang tertangkap dan terekspos oleh
media, sedang pemain Neolib sudah menimbum produk volume berton-ton baik itu
tambang mau pun produk lain yang tidak ada hubungannya dengan BBM
sudah melakukan penimbunan itu beberapa bulan sebelumnya.

Penundaan kenaikan BBM tdk lantas menjadikan harga-harga turun,
hal ini terjadi karena banyaknya penimbunan produk dagang itu,
entah produk itu dieskpor keluar negeri atau dalam negeri saja pastinya
para penimbun ini terorganisasi oleh kaum neoliberal,berkelompok-kelompok,
setiap ekspor atau pun impor ujung-ujungnya kaum kapitalis internasional
atau kelompok neoliberal inilah mendapat keuntungan, harga-harga mahal
karena issu kenaikan BBM ini menjadi alasan untuk diadakannya impor-impor
produk langka, dan ujung-ujungnya kaum neoliberal itu lagi ketiban untung.

inilah permainan neolibaralisme yang bersinergi dengan freemasonry,
keberadaan mereka seperti angin samar tidak terlihat tapi sangat terasa
keberadaannya.


NEOLIBERALISME DAN FAKTA NEOLIBERALISME INDONESIA

Anto Sangaji

PENGANTAR

NEOLIBRALISME, sering dipertukarkan dengan fundamentalisme pasar (market
fundamentalism) (Stiglitz, 2006:576), menjadi kata yang populer saat ini.
Menjelaskannya tidak mudah, tetapi kalau ada kata lain yang bisa dipakai untuk
menggantikannya agar mudah dipahami secepat kilat, maka pilihannya mungkin jatuh
pada kata ‘kemerdekaan’ atau ‘kebebasan’ (freedom). Ada alasannya, karena Milton
Friedman, penerima nobel tahun 1976 dan penulis buku ‘Capitalism and Freedom,’
yang dianggap salah seorang penggagas ide-ide neoliberalisme, menjadikan freedom
sebagai hal paling pokok dalam gagasan-gagasannya. Di buku tersebut, dia
menandaskan bahwa kemerdekaan ekonomi adalah keharusan menuju kemerdekaan
politik (Friedman, 1962).

Tetapi freedom adalah kata yang mengundang banyak tafsir, tergantung siapa yang
menafsirkan. Seperti kata Matthew Arnold ‘freedom is a very good horse to ride,
but to ride somewhere’ (dikutip oleh Harvey, 2005:6). Ketika di tahun 2005,
sekelompok kelas menengah terpelajar di Jakarta, misalnya, memanfaatkan ruang
terbuka reformasi, dengan bebas memasang iklan mendukung kebijakan pemerintah
menaikkan harga BBM, sebuah program di bawah payung neoliberalisme. Itu adalah
freedom, bukan karena beberapa orang di antara mereka adalah aktivis ‘Freedom
Institut,’ tetapi itulah contoh sederhana apa itu kemerdekaan berpendapat,
tergantung siapa yang melakukannya.

Sebaliknya, seperti dilaporkan Pos Kota, dengan cara berbeda, 10/5/2008,
Jamaksari, seorang buruh tani dengan kerja serabutan, warga Kampung Kemanisan RT
03/02, Desa Kebuyutan, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang Banten, secara ‘bebas’
pula memilih gantung diri dengan tali plastik, yang diikat di dahan pohon petai,
di kebun milik warga setempat. Sehari sebelumnya, dia berkeluh kesah kepada para
tetangga, bahwa ia sangat terpukul dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM
(dikutip oleh Arismunandar 2008). Kasus Jamaksari kemungkinan hanya puncak
gunung es dari maraknya kasus-kasus bunuh diri yang marak terjadi menyusul
kebijakan-kebijakan neoliberal. VHR Media.com (2007) melaporkan bahwa antara
2005 dan 2007 terdapat sekitar 50,000 orang Indonesia bunuh diri karena
kemiskinan dan himpitan ekonomi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti A Prayitno dalam laporan tersebut menyebut kemiskinan yang terus
bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran sebagai
faktor penyebab. Di sini, freedom juga muncul dalam wajah lain, yakni tidak
bebas dari rasa lapar.

Cerita seperti ini perlu dihadirkan untuk membawa percakapan tentang
neoliberalisme tidak mengawang-awang dan elitis, tetapi turun ke bumi dengan
contoh-contoh lapangan yang konkret. Tulisan ini lebih memusatkan perhatian pada
pokok-pokok pikiran neoliberalisme dan kritik-kritik terhadapnya, gambaran
ringkas tentang sejarah kelahiran paham ini sampai masuk ke dalam kekuasaan dan
pengalamannya di Indonesia.

NEOLIBERALISME

APA sebenarnya neoliberalisme?. Pertama, dalam bukunya ‘A Brief History of
Neoliberalism,’ menurut Harvey (2005), neoliberalisme adalah paham yang
menekankan jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar
bebas, perdagangan bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi.
Ini merupakan kombinasi antara liberalisme, paham yang menekankan kemerdekaan
dan kebebasan individu, dan doktrin pasar bebas dalam tradisi ekonomi neo-klasik.
Para pendukungnya menempatkan idealisme politik tentang martabat manusia dan
kemerdekaan individu sebagai ‘nilai sentral peradaban.’ Mereka menganggap bahwa
nilai-nilai itu menghadapi ancaman bukan saja oleh fasisme, komunisme, dan
kediktatoran, tetapi oleh segala bentuk campur tangan negara yang memakai
idealisme kolektif untuk menekan kebebasan individu.

Rumusan dasar ini terlihat dalam tulisan-tulisan F. A. Hayek, intelektual
terdepan yang membela paham ini. Intinya, Hayek (1960, 1944) menolak segala
bentuk intervensi negara karena dianggap membahayakan pasar dan kebebasan
politik. Baginya, kebebasan adalah tidak adanya coersion, dan kebebasan paling
utama adalah kebebasan ekonomi, yang berarti kebebasan berusaha tanpa kontrol
negara. Gray (1998:2) menyatakan bahwa karya-karya Hayek bertumpu pada
liberalisme klasik, yang menjunjung hak-hak individu dan keutamaan moral dari
kebebasan individu, keunggulan pasar bebas dan keharusan pemerintah yang
terbatas di bawah supremasi hukum.

Rekan Hayek, Friedman (1962:5-6) memiliki pandangan sama. Dia menghormati
liberalisme abad 19 yang menekankan kebebasan individu dan mendukung laissez
faire sebagai cara untuk mengurangi peran negara. Sebaliknya, dia menganggap
liberalisme abad 20 seperti yang berkembang di USA, terutama setelah 1930,
adalah liberalisme yang terdistorsi oleh intervensi negara. Menurut Friedman (1962:2-4),
ancaman utama kebebasan adalah pemusatan kekuasaan, karenanya itu, ruang lingkup
kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Tugas pokok pemerintah adalah melindungi
kebebasan melalui penegakan hukum dan ketertiban, memperkuat kontrak-kontrak
swasta, dan melindungi pasar yang kompetitif. Di sini perlu digarisbawahi bahwa
perhatian utama Friedman adalah kebebasan dalam konteks ‘competitive capitalism’
(berfungsinya korporasi-korporasi swasta dalam sistem berbasis pasar bebas),
yakni sebuah sistem kebebasan ekonomi, untuk menuju kebebasan politik.

Kedua, seperti sudah dipercakapkan luas, paham ini secara praktis tertuang dalam
doktrin ‘Washington Consensus,’ sebuah agenda tehnokratis berisi daftar
kebijakan, yang pertama kali diperkenalkan oleh (eks) Direktur Bank Dunia John
Williamson untuk negara-negara Amerika Latin, yang menghadapi defisit dan
inflasi yang tinggi, pada tahun 1989 (Williamson, 2004, 2000). Disebut
Washington Consensus, karena merupakan kesepakatan kebijakan antara World Bank,
IMF, dan Kementrian Keuangan USA yang berpusat di Washington. Awalnya, ada 10
kata kunci dalam konsensus ini; (1) disiplin fiskal, dengan menjaga defisit
serendah-rendahnya, karena defisit yang tinggi akan mengakibatkan inflasi dan
pelarian modal; (2) prioritas-prioritas belanja pemerintah, dengan mengurangi
atau menghilangkan subsidi dalam sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan,
dan lainnya; (3) reformasi perpajakan; (4) liberalisasi keuangan; (5) nilai
tukar mata uang negara-negara sedang berkembang harus mengadopsi nilai tukar
yang kompetitif agar memacu ekspor; (6) liberalisasi perdagangan, dengan
meminimumkan hambatan-hambatan tarif dan perizinan; (7) penanaman modal asing
harus dibuat seliberal mungkin karena dapat membawa masuk keuntungan modal dan
keahlian dari luar negeri; (8) privatisasi perusahaan-perusahaan milik
pemerintah; (9) deregulasi sektor ekonomi, karena pengaturan pemerintah yang
kuat dan berlebihan dapat menciptakan korupsi dan diskriminasi terhadap
perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki akses rendah kepada pejabat-pejabat
pemerintah di level lebih tinggi; (10) penghargaan terhadap hak milik harus
ditegakkan, karena hukum yang lemah dan sistem peradilan yang jelek dapat
mengurangi insentif untuk akumulasi modal (dikutip oleh Naim, 2000).

Dalam perkembangannya, ada penambahan 10 kata kunci baru. (1) Bank Sentral yang
independen; (2) reformasi baik terhadap sektor publik maupun tata kelola sektor
swasta; (3) fleksibilitas tenaga kerja; (4) pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan
WTO dan harmonisasi standar-standar nasional dengan standar-standar
internasional di dalam kegiatan bisnis dan keuangan, tetapi dengan pengecualian
(terutama tentang perburuhan dan lingkungan hidup); (5) penguatan sistem
keuangan nasional untuk memfasilitasi liberalisasi; (6) pembangunan
berkelanjutan; (7) perlindungan masyarakat miskin melalui program jaring
pengaman sosial; (8) strategi pengurangan kemiskinan; (9) adanya agenda
kebijakan pembangunan nasional; (10) partisipasi demokrasi (dikutip oleh Beeson
& Islam, 2006:6).

Tampak jelas, neoliberalisme mengagung-agungkan pasar di atas segala-galanya.
Karena, pasar dipandang memiliki cara, mekanisme, dan kesucian sendiri untuk
mengurusi dirinya secara spontan. Jauh-jauh hari, sejarawan ekonomi Karl Polanyi
(2001[asli, 1944]) menamakan pandangan ini untuk kemudian dikritiknya, yakni
pasar yang memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulating market),
tanpa atau peranan negara sekecil-kecilnya (minimal state).

Pandangan radikal ini memperoleh kritik keras. Para pengkritik menganggap bahwa
penempatan pasar sebagai sesuatu yang terisolasi dari kekuasaan politik, kurang
lebih hanya mimpi belaka. Polanyi dalam bukunya The Great Transformation,
menyebutkan “embeddedness,” di mana ekonomi bukan dunia yang otonom, tetapi
secara historis tersubordinatkan ke dalam politik dan sosial. Dalam pengantarnya
untuk buku ini, Block (2001) menyatakan bahwa Polanyi menolak self-regulating
yang mengharuskan masyarakat tunduk kepada logika pasar. Dia menentang
fundamentalisme pasar, karena dianggapnya hanya ilusi. Apa yang disebut self-regulating
market, dengan menendang negara keluar dari ekonomi, seperti dijanjikan
penyanjung neoliberal, hanya utopia.

‘Liberal economy gave a false direction to our ideals. It seems to approximate
the fullfilment of intrinsically utopian expectation. No society is possible in
which power and compulson are absent, nor a world in which force has no function.
It was an illution to assume a society shaped by man’s will and wish alone’ (Polanyi,
2001:266 [1944]).

Dalam sejarahnya, di abad 19, dia memberi contoh tentang industri katun di
Inggris – industri perdagangan bebas paling maju – diciptakan oleh dukungan
tarif yang protektif dan subsidi buruh secara tidak langsung. Artinya, laissez
faire pada dasarnya dilindungi negara. Dia bilang ‘there was nothing natural
about laissez faire..’ Pasar tidak pernah tumbuh secara alamiah, tetapi melalui
campur tangan pemerintah.

Di luar kritik Polanyi mengenai ilusi pasar yang dapat bekerja secara spontan,
maka menurut Harvey (2005), masalah paling mendasar dari penerapan
neoliberalisme adalah pengerukan aset dan kekayaan dari massa rakyat ke tangan
segelintir kelas di dalam masyarakat dan dari negeri-negeri terkebelakang ke
negeri-negeri kaya. Dan menurutnya, negara yang memonopoli kekerasan dan membuat
aturan-aturan main, memainkan peranan penting dalam mendukung dan mempromosikan
proses ini. Ia menyebut proses ini sebagai accumulation by dispossession, yang
meliputi: ‘komodifikasi dan privatisasi tanah dan mengusir para petani secara
paksa; konversi berbagai bentuk hak milik (bersama, kolektif, negara, dan
sebagainya) ke dalam hak-hak kepemilikan pribadi secara eksklusif; larangan
secara paksa hak-hak milik bersama; kumodifikasi tenaga kerja dan eliminasi
secara paksa bentuk-bentuk alternatif (indigenous) model-model produksi dan
konsumsi; proses-proses pengambil alihan aset dengan cara-cara kolonial,
neokolonial, dan imperial (termasuk sumber daya alam); monetisasi nilai tukar,
pajak, dan terutama tanah; perdagangan budak (yang masih berlangsung, terutama
dalam industri seks) dan; peminjaman dengan bunga yang mencekik, utang nasional
dan yang paling merusak adalah penggunaan sistem kredit yang merupakan cara-cara
paling radikal dari akumulasi primitif’ (Harvey, 2003, 2007).

Dengan accumulation by dispossession, Harvey mencoba mengembangkan konsep Karl
Marx (1990 [asli, 1867]) tentang ‘primitive accumulation,’ yakni asal-usul
surplus, di mana akumulasi kapitalis berlangsung. Menurut Marx (1990:874-5 [1867]),
‘akumulasi primitif, di tingkat pertama dan paling pokok, adalah proses sejarah
pemisahan produsen dari alat produksi.’ Dengan kata lain, proses mengubah para
produsen menjadi buruh upahan. Hal penting yang perlu digaris-bawahi dari Marx,
yang menghabiskan delapan bab di bagian kedelapan dari buku Capital I ketika
menguraikan tentang akumulasi primitif, adalah kekerasan. Mengutip Augier, yang
mengatakan bahwa jika uang hadir di dunia dengan lumuran darah bawaan di sebelah
pipi, maka kapitalisme lahir, menurut Marx (1990:925-6 [1867]), ‘dengan darah
dan kotoran yang muncrat dari pori-pori, mengalir dari kepala turun ke ujung
kaki.’ Dalam sejarah, proses ini terjadi di mana-mana, seperti dia menulis:

‘the discovery of gold and silver in America, the extirpation, enslavement and
entombment in mines of the indigenous population of that continent, the
beginnings of the conquest and plunder of India, and the conversion of Africa
into a preserve for the commercial hunting of black skins, are all things which
characterize the dawn of the era of capitalist production. These idyllic
proceedings are the chief moments of primitive accumulation’ (Marx, 1990:915 [1867]).

Kekerasan dengan demikian merupakan hal yang tertanam di dalam proses akumulasi
kapital. Negara yang memonopoli kekerasan secara sah menjadi sentral dalam
proses ini, di antaranya dengan menggunakan instrumen kekerasan negara seperti
angkatan bersenjata. Militerisme, dengan demikian, menjadi penting dalam sistem
kapitalis, yang oleh Mann (1984) menganggapnya sebagai keharusan untuk akumulasi
modal swasta. Karena tanpa itu, produksi, arus komoditi, dan kepemilikan pribadi
atas alat produksi akan terganggu.

JALAN MENUJU KEKUASAAN

MENURUT Harvey (2005) neoliberalisme merupakan proyek politik, sebagai obat
penawar terhadap ancaman yang dihadapi oleh tatanan sosial kapitalisme dan
penyakit yang dideritanya. Sebagai proyek, menurutnya, hal ini bisa ditelusuri
dari sebuah kelompok kecil yang eksklusif – terkenal dengan the Mont Pelerin
Society – terdiri dari filosof politik Austria Frederich von Hayek, Ekonom
Milton Friedman, Filosof Karl Popper, dan lain-lain, yang menyebut diri mereka
sebagai ‘liberal’ (dalam tradisi Eropa) karena keyakinan tentang idealisme
kebebasan pribadi. Ketika membentuk kelompok ini di tahun 1947, mereka
memprihatinkan bahaya yang mengancam jantung peradaban ‘the Western Man’ (kebebasan
berfikir dan berekspresi), sehingga diperlukan sebuah ‘perang ide’ yang harus
dimenangkan. Label neoliberal menunjukan kepercayaan kuat mereka terhadap
prinsip-prinsip pasar bebas dari ekonomi neoklasik yang tumbuh di abad 19 (berkat
karya-karya Alfred Marshall, William Stanley Jevons, dan Leon Walras) untuk
menggantikan karya-karya klasik dari Adam Smith, David Ricardo, dan Karl Marx.
Meskipun mereka juga respek dengan teori Adam Smith tentang ‘invisible haid.’
Doktrin Neoliberalisme, oleh karena itu, adalah sebuah perlawanan terhadap teori-teori
tentang intervensi negara, seperti yang diperkenalkan oleh John Maynard Keynes
ketika menghadapi depresi besar tahun 1930an, dan teori-teori tentang
sentralisasi perencanaan ekonomi di dalam tradisi Marxist (Harvey, 2005:19-21;
Yergin & Stanislaw, 1998).

The Pelerin Society memperoleh dukungan keuangan dan politik yang sangat kuat.
Di USA, secara khusus, mereka memperoleh dukungan dari kelompok individu kaya
yang kuat dan para pemimpin perusahaan yang menentang segala bentuk intervensi
pemerintah. Mereka menggalang perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai
ekonomi campuran (mixed economy). Kepercayaan ini semakin menguat sampai krisis
ekonomi 1970an, ketika paham ini masuk ke dalam mainstream kekuasaan dan lembaga-lembaga
pemikiran, menggeser dominasi Keynesianism. Terutama di USA dan Inggris, lembaga-lembaga
pemikiran dengan dukungan keuangan kuat, seperti Institute of Economic Affairs (London),
Heritage Foundation (Washington), dan di Universitas Chicago yang sangat
dipengaruhi oleh Milton Friedman. Penghargaan nobel ekonomi yang diberikan
kepada Hayek (1974) dan Friedman (1976) semakin membuat paham ini kian berkibar.
Teori neoliberal mulai masuk ke dalam kebijakan di era 1970an itu, terutama di
sektor moneter, khususnya di masa pemerintahan Jimmy Carter, saat deregulasi
ekonomi diperlukan sebagai salah satu jawaban terhadap stagflasi (Harvey, 2005:
21-2).

Sejak 1979 konsolidasi neoliberalisme mencapai puncaknya. Terpilihnya Margaret
Thatcher (1979) dan Ronald Reagan (1980) sebagai kepala pemerintahan di Inggris
dan USA merupakan era di mana kebijakan ekonomi neo-liberal datang mendominasi.
Thatcher yang terpengaruh dengan Hayek (Flew, 1996) mengangkat Keith Joseph,
pengikut Hayek, sebagai Menteri Perindustrian dan kemudian menjadi Menteri
Pendidikan, sementara Reagan menunjuk David Stockman, seorang penganut Hayek,
untuk mengepalai OMB (the Office of Management and Budget), jabatan setingkat
menteri. Thatcher dan Reagan menekankan doktrin kompetisi – kompetisi antar
bangsa, wilayah, perusahaan, dan individu. Inilah era di mana deregulasi pasar
keuangan, privatisasi, pelemahan kelembagaan-kelembagaan jaminan sosial,
pelemahan serikat-serikat buruh dan perlindungan pasar tenaga kerja, pengurangan
peran pemerintah, dan membuka pintu untuk arus barang dan modal internasional.

Apa yang terlihat dari proses ini adalah peranan negara di dalam sejarah muncul
dan menyebarnya neoliberalisme. Dengan kata lain, kekuasaan negaralah yang
menjadi kata kunci untuk mengartikulasikan paham ini. Nah di sini, sangat
penting merujuk ke Harvey (2005, 2007) yang mengupas tuntas apa yang dia sebut ‘neoliberal
state’ (negara neoliberal). Menurutnya, negara neoliberal memiliki misi
menciptakan ‘good bussiness climate’ bagi akumulasi modal, tidak peduli dampak
negatif sosial ekonominya. Negara harus memfasilitasi dan mendorong kepentingan-kepentingan
bisnis, seperti privatisasi sektor-sektor yang sebelumnya dikuasai negara,
memacu pertumbuhan industri keuangan (financialization), dan sebaliknya, menarik
diri dari tanggung jawab di bidang sosial. Negara menciptakan dan melindungi
kerangka kerja secara kelembagaan yang menjamin hak milik pribadi, kebebasan
individu, tidak membebani pasar, dan mendorong perdagangan bebas. Dan tidak
kalah penting, negara juga mesti menyiapkan militer, polisi, dan lembaga-lembaga
peradilan untuk menjamin semua itu bekerja (Harvey, 2007:22).

Seperti sudah disampaikan, era Thatcher dan Reagan memang dianggap sebagai masa
di mana paham neoliberal masuk ke dalam arus utama kekuasaan. Tetapi di bawah
era Perang Dingin (Cold War), musuh utama paham ini juga adalah negeri-negeri di
bawah pengaruh sosialisme. Tidak heran, atas alasan itulah, Chili tampaknya
menjadi laboratorium penerapan paham ini. Itu terjadi di tahun 1970an, ketika
agenda-agenda neoliberal dipraktekkan, setelah sebuah kudeta berdarah militer
Chili yang didukung oleh USA terhadap pemerintahan sosialis yang terpilih secara
sah dan demokratik di bawah Salvador Allende (Alexander, 1978). Sekelompok
ekonom muda Chili yang dikenal dengan sebutan ‘Chicago Boys,’ karena pengikut
Milton Friedman, dari mana mereka pernah mengenyam pendidikan di University of
Chicago, masuk menjadi tulang punggung rejim Pinochet. Bekerja sama dengan IMF,
dari tangan merekalah ide-ide neoliberal dipraktikkan melalui privatisasi aset-aset
pemerintah, membuka investasi swasta berbasis sumber daya alam (perikanan dan
kehutanan), memfasilitas invetasi-investasi asing dan membuka perdagangan bebas
(Petras & Leiva, 1994:21-3; Harvey, 2005:7-8). Chili merupakan gambar yang jelas,
di mana kebebasan ekonomi (economic freedom) hidup berdampingan dengan teror
politik. Friedman, yang menjadi arsitek ekonomi dan penasehat tidak resmi ‘Chicago
Boys’ menyatakan bahwa di luar ketidak-setujuannya terhadap sistem politik
otoriter di negeri itu, dia tidak melihatnya sebagai sesuatu yang buruk untuk
memberikan nasihat kepada pemerintahan Pinochet (Letelier,1976:45).
Dari lensa lain, Global War on Terror (GWOT), di bawah hegemoni USA, datang
mengisi tempat yang kosong setelah berakhirnya Perang Dingin. Dengan dalih
promosi institusi dan nilai-nilai politik liberal di luar negeri yang menjadi
sentral agenda pemerintah Bush, baik dalam perang melawan terorisme maupun Grand
Strategynya (Ikenberry, 2001-2002), US melakukan penyerbuan ke Iraq untuk
menghancurkan rejim Saddam Hussein. Tak bisa disangkal, invasi Iraq merupakan
contoh paling terbaru bagaimana apa yang disebut dengan rejim ‘neo-liberal
militarism’ beroperasi, di mana pemerintah mengalokasi anggaran yang besar untuk
melayani profit korporasi-korporasi swasta, bukan untuk menekan angka
pengangguran, perbaikan upah, dan jaminan kenyamanan ekonomi bagi kaum buruh,
seperti yang menjadi pertimbangan utama penganut ‘military keynesianism’ (Cypher,
2007). Stiglitz dan Bilmes (2008:11-12) mencatat, dalam invasi Iraq US
mengontrak 100,000 kontraktor swasta, mulai dari melayani masak-memasak,
pelayanan sistem persenjataan, sampai perlindungan diplomat. Bahkan memberikan
kontrak kepada perusahaan-perusahaan keamanan swasta (private security companies),
yang pada tahun 2007 saja menghabiskan USD 4 milyar. Keterlibatan perusahaan-perushaaan
keamanan swasta sekaligus juga menunjukkan bahwa angkatan bersenjata secara
parsial tengah diprivatisasi. Sebagai tambahan, privatisasi sektor keamanan,
ditandai tumbuhnya perusahaan-perusahaan militer swasta (privat military firms [PMFs])
dan perusahaan-perusahaan keamanan swasta (private security firms [PSCs]) sejak
berakhirnya Perang Dingin (Singer, 2003), kian menggambarkan bahwa
neoliberalisasi telah berlangsung sangat cepat, termasuk menggantikan fungsi-fungsi
jaminan keamanan yang secara tradisional dimonopoli negara.

Setelah berhasil menghancurkan regim Saddam, kepala Otoritas Sementara Pasukan
Koalisi (Coalition Provisional Authority [CPA]), Paul Bremer mulai memaksakan
kebijakan-kebijakan neoliberal. Hanya dalam 14 bulan, CPA telah membangun pilar-pilar
ekonomi neo-liberal melalui serangkaian peraturan: larangan terhadap kegiatan
produksi oleh negara dan larangan subsidi komoditi; pengurangan hambatan-hambatan
tarif impor dan perdagangan; deregulasi proteksi sistem pengupahan dan membuka
pasar tenaga kerja; reformasi perpajakan; reformasi keuangan dan reformasi
sektor perbankan; menetapkan aturan-aturan perdagangan internasional berdasarkan
ketentuan-ketentuan WTO dan; privatisasi perusahaan-perusahaan negara (Whyte,
2007:181). Semua alasan itu jelas-jelas merupakan doktrin neo-liberal, tetapi
sering kali dipoles dengan argumentasi yang mudah diterima ‘akal sehat.’
Misalnya, ketika privatisasi perusahaan-perusahaan negara, maka justifikasi
politik yang dipakai adalah bahwa selama pemerintahan Saddam, perusahaan-perusahaan
itu menjadi sarang korupsi. Memang tesis penganut neo-liberal dalam perlawanan
terhadap korupsi di sektor pemerintah didasarkan pada klaim bahwa privatisasi
dan kompetisi dapat menghilangkan korupsi dalam kegiatan ekonomi yang didominasi
perusahaan-perusahaan milik pemerintah (Whyte, 2007:180).

PENGALAMAN INDONESIA.

SEBELUM krisis ekonomi dan krisis politik 1997-8 (Dijk, 2001), Indonesia di
bawah kediktatoran Suharto, kerap dipandang sebagai salah satu kisah sukses
pembangunan yang kapitalistik. Melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat selama
tiga dekade, Indonesia dianggap sukses dalam menurunkan angka kemiskinan absolut.
Bank Dunia dalam laporan tahun 1997 menyatakan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi
yang bagus dalam periode 1991-1996, Indonesia diperkirakan masih akan mengulangi
kesuksesan pertumbuhan yang menggembirakan (Wie, 2002). Pertumbuhan besar-besaran
industri manufaktur dengan upah buruh murah (Hadiz, 1997) dan pertumbuhan
industri berbasis sumber daya alam yang menyingkirkan petani dan masyarakat
lokal (Leith, 2000; Robinson, 1986) menjadi potret yang pas bagaimana
konsolidasi sistem kapitalisme di Indonesia.

Studi-studi Hadiz & Robison (2006) dan Rosser (2002) memberi indikasi tentang
paham neoliberal telah masuk dalam kebijakan sejak rejim Orde Baru hingga rejim-rejim
yang terbentuk sesudahnya. Apa yang harus digarisbawahi adalah bahwa kebijakan-kebijakan
neoliberal memang tidak turun secara serempak, tetapi melalui proses evolusi
yang panjang, yang bisa ditelusuri dari berbagai kebijakan reformasi ekonomi
sejak kelahiran Orde Baru. Apa yang disebut sebagai deregulasi dan
debirokratisasi sejak era 1980an, menyusul kejatuhan harga minyak, adalah bukti
reformasi pasar itu, dan kebijakan itu berlangsung semakin dalam setelah krisis
ekonomi dan politik 1997-8. Kebijakan-kebijakan itu di antaranya adalah
reformasi pasar modal, keuangan dan perbankan, perdagangan dan investasi, dan
hak milik intelektual (Rosser, 2002).
Seperti Chili, Indonesia kembali memulai ekonomi pasar setelah kekerasan paling
barbar dalam sejarah kemanusiaan di abad lalu, ketika ratusan ribu orang diburu
dan dibunuh, dengan tuduhan sebagai anggota atau simpatisan PKI, dan sebagian
dikirim ke kamp-kamp isolasi Pulau Buru, tanpa proses pengadilan (Roosa, 2006;
Cribb, 2002). Dan pembunuhan itu jelas-jelas di bawah dukungan kuat USA.
Peristiwa ini sendiri tidak boleh dibaca sebagai peristiwa politik yang berdiri
sendiri, tetapi jelas berhubungan dengan bagaimana sebuah masyarakat akan
diorganisasikan menurut kaidah-kaidah ekonomi kapitalis pada masa-masa
berikutnya. Apa yang terjadi adalah lahirnya sebuah rejim kapitalis, di mana ide-ide
neoliberal – disuarakan kelompok teknokrat yang lazim disebut Berkeley Mafia (Ransom,
1970) – secara perlahan mulai dipraktekkan, misalnya, dengan membuka pintu
secara lebar bagi investasi swasta asing. Farid (2005) menunjuk perkembangan ini
sebagai bagian dari ‘primitive accumulation,’ proses penumpukan kekayaan yang
bertumpu pada hak milik pribadi, yang didahului atau dilakukan dengan kekerasan
yang berdarah-darah.

Keajaiban pertumbuhan ekonomi di masa Orde Baru berlangsung di bawah rejim yang
mengandalkan kekuatan militer dalam semua segi kehidupan (Crouch, 1978; Jenkins,
1987; Lowry, 1996; McGregor, 2007). Rejim sukses membonsai organisasi-organisasi
buruh dan tani, menciptakan stigma komunis, dan melakukan kekerasan dan teror
terhadap perlawanan kaum buruh dan kaum tani yang meningkat tajam sejak 1980an (Hadiz,
1997; Lucas, 1992). Penggunaan kekerasan juga dilakukan terhadap kelompok-kelompok
miskin perkotaan, dengan melakukan penggusuran secara paksa (Benyamin & Kartini,
1998) dan bahkan melakukan pembunuhan ekstra legal terhadap warga perkotaan yang
diklaim sebagai penjahat (Cribb, 2000). Kondisi seperti ini sejalan dengan
kepentingan modal internasional yang tidak berkeinginan mendukung proses
demokratisasi di Indonesia (Winters, 1999). Tentu saja, semasa Orde Baru,
Indonesia menjadi contoh yang penting, di mana tidak ada hubungan antara
kapitalisme dan demokrasi.

Reformasi politik dan reformasi ekonomi setelah kejatuhan Suharto melahirkan
banyak ketegangan. Baik proses demokratisasi di bidang politik (Bunte & Ufen,
2009), maupun reformasi pasar yang memberikan kemudahan akses perusahaan-perusahaan
swasta untuk mengeruk sumber daya alam dengan jaminan hak milik yang lebih kuat,
semakin memperluas konflik dan kekerasan. Dalam kerangka ini, kekerasan berbasis
suku dan agama yang muncul menjelang kejatuhan Suharto dan kemudian menyebar ke
Maluku, Maluku Utara, Kalimantan, dan Poso setelah reformasi (Klinken, 2007),
sebenarnya hanya bisa dijelaskan dengan baik melalui lensa yang lebih luas.
Krisis ekonomi sejak 1997 mengakibatkan merosotnya kesejahteraan penduduk,
akibat pemutusan hubungan kerja di sektor manufaktur, konstruksi, dan pelayanan
terutama di daerah perkotaan (Wie, 2002) menciptakan efek domino konflik dan
kekerasan. Proses-proses dispossession secara ekonomi dan politik yang terjadi
sebelum krisis 1997 dan semakin mendalam setelah reformasi pasar dan reformasi
politik menimbulkan kondisi-kondisi masyarakat yang sangat rentan yang memicu
terjadinya konflik dan kekerasan lebih luas.

Neoliberalisasi awal

Industri pertambangan menjadi contoh paling tepat bagaimana ide-ide neo-liberal
mulai diperkenalkan sejak awal orde baru. UU No.1/ 1967 tentang Penanaman Modal
Asing menjadi titik masuk investasi asing di sektor ini. Pasal 8 UU No. 1/1967
menyebutkan “Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu
kerja sama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku”. Kebijakan lebih rinci yang mendorong
investasi di sektor ini adalah UU No.11/ 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan. Indonesia memperkenalkan Kontrak Karya (KK), model kontrak antara
pemerintah dan perusahaan asing, yang dianggap paling liberal dalam dunia
industri pertambangan. Kebijakan-kebijakan ini benar-benar merupakan cermin dari
apa yang oleh Emel dan Huber (2008) menyebutnya sebagai mantra ‘neo-liberal risk’
di sektor pertambangan. Mantra ini menganggap perusahaan swasta menghadapi
risiko politik, komersial, dan geologi yang besar dan tidak sepadan dengan
pemilik tanah dan mineral (negara) di mana perusahaan beroperasi. Oleh karena
itu, perusahaan harus memperoleh jaminan pemerintah bahwa tidak ada
nasionalisasi dan aneka klaim hak milik (multiple property claims), ancaman
terorisme dan sabotase, pembatalan kontrak, dan aturan perpajakan, eksplorasi
dan eksploitasi yang kaku. Tujuannya adalah akumulasi kapital dapat berlangsung
tanpa gangguan.

Freeport yang pertama kali memperoleh KK April 1967 benar-benar memperoleh
perlakuan istimewa dari pemerintah. Draft KK itu bukan dibuat oleh pemerintah
Indonesia, tetapi sepenuhnya disiapkan sendiri oleh Freeport untuk kemudian
disetujui. Moh. Sadli, salah seorang teknokrat yang diasosiasikan dengan ‘Mafia
Berkeley’ mengatakan bahwa KK Freeport saat itu adalah bagian dari cara
pemerintah untuk menarik investasi asing. Fakta lain, pemberian kontrak itu
terjadi ketika status politik Papua masih belum jelas: apakah memilih bergabung
dengan Indonesia atau mau merdeka melalui sebuah referendum, di bawah pengawasan
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang akan dilakukan pada tahun 1969. Dan
seperti kita ketahui, ternyata referendum dilakukan bukan berdasarkan prinsip ‘satu
orang satu suara,’ sesuai ketentuan PBB, tetapi dilakukan oleh hanya 1.024 orang,
yang berada di bawah pengawasan tentara. Pemerintah menganggap kendala fisik dan
penduduk Papua yang primitif menjadi faktor penghalang untuk sebuah referendum
yang melibatkan hampir 1 juta penduduk Papua saat itu. Tidak heran, di bawah
akal-akalan pemerintah ini, hasil referendum menyatakan
Papua bergabung dengan Indonesia (Leith, 2000:60, 12-3).

Di bawah perlakuan yang istimewa terhadap Freeport (subsidiary of Freeport
Sulphur Co, USA), investasi swasta asing berlomba-lomba masuk Indonesia. Setelah
Freeport Indonesia memperoleh kontrak karya (KK) tahun 1967, maka hingga 1970
tercatat 9 perusahaan asing mengantongi KK dengan pemerintah Indonesia, dua di
antaranya PT. Freeport dan PT. Inco. Dalam perkembangannya, Indonesia menjadi
lahan subur bagi investasi asing, dan sebelum kejatuhan Suharto, dianggap
sebagai negeri yang paling menarik dari sisi investasi pertambangan di Asia (Leith,
2000). Nilai investasi KK, 1968 – 1990, mencapai USD 2,339 juta; tahun 1994 USD
861 juta dan; tahun 1997, USD 1, 922 juta. Pemain-pemain utama dalam industri
pertambangan dunia hadir di Indonesia, seperti Rio Tinto, Newmont Gold Company,
Newcrest Mining Ltd, Broken Hill Proprietary Company Ltd, Freeport McMoran
Copper & Gold Inc, dan Inco Ltd. Tentu saja, itu semua berkat keuntungan yang
melimpah ruah di bawah jaminan politik yang kuat.

Tetapi, harga yang harus dibayar dari neoliberalisasi di bidang ini juga sangat
mahal. Konflik dan kekerasan muncul di mana-mana, di mana fungsi negara
neoliberal dalam proses ini menjadi sentral untuk menjamin proses pengerukan
mineral. Itu yang terjadi di Papua bertahun-tahun. Sebuah contoh, tahun 1977,
dilaporkan bahwa Freeport mengalami kerugian sekitar USD 11 juta karena
Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan sabotase instalasi milik perusahaan itu.
Menanggapi kasus ini ABRI/TNI melancarkan operasi Tumpas di daerah pegunungan
dengan menggunakan pesawat buatan USA Bronco dan helikopter-helikopter yang
dilengkapi senjata dengan target di darat. Serangan dilakukan dengan melakukan
pengeboman di wilayah yang luas, serangan udara dengan manuver terbang rendah,
dan menjatuhkan bom napalm di sekitar desa-desa di daerah pegunungan (Leith,
2000:226-7). Sehingga, kalau di kemudian hari, Freeport meraup keuntungan yang
melimpah ruah, di mana seorang bos Freeport, James R. Moffet, di tahun 1999 –
2000 saja, memperoleh pendapatan senilai USD 8 juta dalam bentuk gaji, bonus,
dan berbagai pendapatan tahunan lainnya (Leith, 2000:9), maka tidak lain, itu
dialirkan melalui tumpahan darah.

Seperti juga di Freeport, penduduk-penduduk setempat terpaksa kehilangan tanah
atau akses ke sumber daya alam lainnya dan menerima dampak pencemaran lingkungan
akibat kebijakan pertambangan yang sangat liberal. Itu yang dialami oleh
penduduk yang tinggal di sekitar Danau Matano, Sulawesi Selatan, setelah PT.
Inco, anak perusahaan Inco Ltd., Kanada (saat ini Vale Inco, Brasil), memperoleh
KK untuk mengeksploitasi biji Nikel di wilayah itu. Seperti Denise Leith yang
menulis disertasi doktor tentang Freeport, disertasi doktor Katrin M Robinson
tentang PT Inco juga menggambarkan bagaimana industri pertambangan yang
memperoleh perlakuan istimewa pemerintah, menimbulkan sengketa tanah, pencemaran
lingkungan, dan beragam pelanggaran hak asasi manusia. Tidak berlebihan,
Robinson (1986) menulis bukunya tentang pertambangan PT Inco di Soroako,
Sulawesi Selatan, di bawah judul ‘Stepchildren of Progres.’

Sengketa semacam terjadi meluas di berbagai industri berbasis sumber daya alam
lainnya, seperti kehutanan, pekebunan dan sebagainya. Akar dari sengketa, karena
semakin kuatnya negara melindungi hak-hak milik pribadi (private property
ownership), dengan memberi jaminan kepada korporasi-korporasi swasta, dan dalam
waktu yang sama tidak mengakui berbagai model kepemilikan para petani. Itu juga
yang terjadi dengan berbagai proyek infrastruktur, terutama bendungan, yang
didanai oleh lembaga-lembaga keuangan multilateral, atau badan-badan keuangan
luar negeri lainnya (Aditjondro & Kowalewski, 1994).

Pendalaman Neoliberalisasi.

EKSPANSI besar-besaran dalam industri perkebunan sawit di luar Jawa, yang
mengantar Indonesia menjadi produsen utama crude palm oil (CPO) di dunia,
menjadi contoh yang lain bagaimana paham neoliberal semakin menemukan kakinya.
Dengan luas kebun sawit di tahun 1985 sekitar 600.000 hektar dan berkembang
menjadi 4,1 juta hektar di tahun 2003, membuat Indonesia menjadi pemain penting
dalam industri perkebunan sawit dunia, di belakang Malaysia. Pada tahun 2002,
nilai ekspor produk-produk minyak sawit Indonesia mencapai USD 2,1 miliar.
Sektor ini juga mempekerjakan tenaga kerja secara langsung mencapai 800.000
orang dan 2 juta secara tidak langsung (Gelder, 2004). Tidak pelak lagi, ini
merupakan buah dari kebijakan-kebijakan neoliberal di sektor ini: Bank Dunia
memperkenalkan skema ‘Kebun Inti dan Plasma’ sejak 1990an; Sejak 1996, untuk
mendorong sektor swasta pemerintah memberikan subsidi melalui pinjaman bank
dengan tingkat suku bunga yang rendah; pengurangan pajak ekspor secara progresif
untuk produk-produk minyak sawit seperti crude palm oil (CPO); refined, bleached,
deodorised (RBD) palm oil; crude olein; dan RBD olein; pemberian izin untuk
lahan perkebunan yang luas, termasuk konversi hutan-hutan alam sekitar 6 juta
hektar (Casson 2002: 224-6; Larson, 1996; Colchester, et.al. N.D.:4). Sejak
krisis 1997/8, IMF mendorong liberalisasi investasi perkebunan sawit, seperti
tertuang dalam poin 39 Letter of Intent (LoI, 15 Januari 1998), yakni menghapus
hambatan investasi asing di dalam industri perkebunan sawit.

Hal lain adalah peranan Internasional Finance Corporation (IFC), lembaga di
bawah Bank Dunia, yang aktif mempromosikan ekspor hasil-hasil agrobisnis di
Indonesia dengan menciptakan iklim investasi yang pro pasar. Tahun 2002, IFC
menyediakan stand-by equity senilai USD 16.5 juta untuk PT Astra International
dalam rangka restrukturisasi utang perusahaan itu (Carrere, 2006). Seperti kita
ketahui Astra adalah salah satu perusahaan raksasa yang juga memiliki perkebunan
sawit yang menyebar di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, yang pada tahun 2004
memiliki areal perkebunan sawit yang telah ditanami seluas 189.970 hektar dengan
kapasitas produksi CPO mencapai 543.635 ton per tahun (Gelder, 2004).

Tetapi peranan IFC yang penting adalah mendukung Wilmar Trading. Perusahaan
Singapura yang memiliki empat pabrik penyulingan CPO di Indonesia dan sebuah
pabrik di Malaysia dengan total produksi mencapai 3,3 juta ton per tahun, dan
juga memiliki beberapa anak perusahaan perkebunan sawit di Sumatra. IFC memberi
jaminan USD 3,3 juta untuk Wilmar, yang diperbaharui setiap tahun selama tiga
tahun, sehingga memudahkan perusahaan itu untuk memperoleh pinjaman dari bank-bank
komersial. Ini merupakan bagian dari usaha IFC agar Wilmar memiliki modal yang
terjaga untuk membeli CPO dari perkebunan sawit di Indonesia untuk kemudian
disuling lagi sebelum diekspor. Ringkas cerita, dengan jaminan kredit dari IFC,
Wilmar dan anak-anak perusahaannya di Indonesia dapat mempertahankan ekspor
hasil perkebunan sawit dan meraup profit dari sana (Carrere, 2006).

Pertumbuhan fantastis industri kapitalis perkebunan sawit dalam masa belasan
tahun terakhir berlangsung melalui praktek-praktek akumulasi primitif dengan
pola-pola sebagai berikut. Pertama, konflik tanah menjadi hal paling menonjol
karena klaim kepemilikan yang berbeda. Sebuah studi yang dilakukan Amzulian
Rifai tentang 78 konflik antara petani dengan perusahaan-perusahaan perkebunan
di Sumatra Utara menunjukkan konflik itu terjadi karena: lahan petani diambil
secara ilegal dan paksa; tidak ada kompensasi yang dibayarkan untuk tanaman-tanaman
di atas lahan yang masuk dalam areal konsesi; pohon-pohon karet yang dimiliki
petani dirusak oleh perusahaan dengan cara membakar ketika melakukan pembersihan
lahan dan; meski tanah-tanah petani terdapat dalam areal konsesi, tetapi mereka
tidak memperoleh bagian keuntungan (dikutip oleh Collins, 2007:57-8).

Kedua, mempekerjakan buruh-buruh murah (termasuk anak-anak dan perempuan) dengan
kesehatan kerja yang buruk. Ini dimungkinkan karena sumber utama para pekerja
adalah warga-warga miskin dari wilayah-wilayah padat penduduk di Jawa, Bali, NTT
direkrut di bawah program perkebunan inti rakyat-transmigrasi (PIR-trans) dan (eks)
petani setempat yang telah kehilangan tanah.

Ketiga, di balik proses itu, seperti biasa kekerasan menjadi bagian penting,
ketika konflik antara perusahaan dan petani meningkat. Di Desa Salulebo,
Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, propinsi yang baru
dimekarkan dari Sulawesi Selatan, (14/2/2007), PT Astra Agro Lestari membayar
milisi dan Brimob untuk menyerang Forum Aliansi Masyarakat Tani Mamuju, ketika
sedang berada di lahan garapan mereka. Akibat serangan ini, seorang anggota
milisi tewas, karena para petani memberikan perlawanan. Beberapa petani kemudian
ditangkap polisi dan memperoleh penyiksaan selama dalam tahanan (Anonymous, N.D.a).
Di Kampung Banjaran Kecamatan Secanggang, Kab. Langkat, Sumatera Utara (25/8/2008),
aparat Polres Langkat melakukan penangkapan disertai tindak kekerasan terhadap
100 petani di area perkebunan sawit milik PT. Buana Estate, karena para petani
berusaha mempertahankan tanah mereka yang telah diserahkan oleh pemerintah
kepada perusahaan (Anonymous, N.D.b). Di Sumatra Barat, pertumbuhan perkebunan
Sawit di daerah itu juga ditandai dengan kekerasan, ketika aparat polisi
bersenjata mengintimidasi penduduk setempat untuk menyerahkan lahan mereka
kepada PT Permata hijau Pasaman, anak perusahaan dari Wilmar sejak April 2000.
Sebuah NGO di sana melaporkan itu dilakukan melalui intimidasi, penembakan,
penculikan, penangkapan, dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan (Carerre,
2006).

Tampaknya, kekerasan bukan hanya monopoli industri perkebunan sawit. Seperti
terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan (21/3/2003), konflik tanah antara PT
London Sumatra (LonSum) dengan petani setempat, karena ekspansi kebun karet
berlangsung berdarah-darah. Pasukan Brimob secara sewenang-wenang memukuli dan
menembaki petani yang berusaha merebut tanah mereka kembali. Akibat tindakan
kekerasan ini empat orang meninggal dunia, banyak orang menderita luka-luka, 14
orang dimasukkan ke penjara, dan sejumlah aktivis pro-demokrasi yang mendampingi
perjuangan rakyat Bulukumba, terpaksa ‘tiarap’ karena dimasukkan di daftar
pencarian orang (Aditjondro, 2006).

Bagaimana kekerasan seperti ini harus dijelaskan?. Pandangan umum melihatnya
sebagai problem aparat keamanan, yang selain dianggap ‘haus darah,’ juga ‘haus
uang.’ Para komandan pasukan mengerahkan anak buahnya melindungi perusahaan,
karena memperoleh pelayanan dari perusahaan. Setelah reformasi, cerita-cerita
semacam ini terjadi di mana-mana, terutama dalam industri perkebunan dan
pertambangan. Misalnya, harian New York Times, dalam sebuah laporan menyebut
bahwa antara 1998 – 2004, Freeport menyatakan telah menyerahkan uang sekitar USD
20 juta kepada para jenderal, kolonel, mayor, dan kapten baik TNI maupun polisi.
Para komandan menerima puluhan ribu dolar, dan dalam sebuah kasus memperoleh
sekitar USD 150,000 (Perlez & R. Bonner, 2005). Pembayaran seperti itu terus
saja berlangsung, dan di tahun 2008, perusahaan membayar sekitar USD 1,6 juta
kepada aparat keamanan (Anonymous (N.D.c). Kepada New Times, perusahaan
menyatakan:

“There is no alternative to our reliance on the Indonesian military and police
in this regard…. The need for this security, the support provided for such
security, and the procedures governing such support, as well as decisions
regarding our relationships with the Indonesian government and its security
institutions, are ordinary business activities” (Perlez dan Bonner, 2005).

Relasi seperti ini selalu dipandang sebagai masalah ‘governance,’ baik di
tingkat perusahaan maupun di jajaran pemerintah. Tentu saja, pandangan seperti
ini bersifat reduksionis, karena hanya melihatnya sebagai bentuk-bentuk
pelanggaran HAM dan korupsi oleh aparat kekerasan negara, apalagi biasanya
berakhir dengan menjadikan serdadu-serdadu berpangkat rendah sebagai kambing
hitam. Lebih dari itu, masalah ini harus dilihat sebagai sesuatu yang tertanam
di dalam jantung sistem kapitalis, yakni keharusan untuk melindungi proses-proses
penumpukan kekayaan swasta. Dengan kata lain, di sinilah letak relevansi kritik
terhadap neoliberalisme, di mana pengerahan pasukan secara resmi sejatinya
bertujuan melindungi super profit yang diperoleh perusahaan-perusahaan swasta.

CATATAN PENUTUP

PERTAMA, neoliberalisme dapat disimpulkan bahwa neoliberalisme bukan saja
merupakan kebijakan teknis ekonomi, seperti tertuang dalam Washington Consensus,
tetapi merupakan sebuah ideologi, yang menekankan ideal tertentu tentang
bagaimana masyarakat diorganisasikan secara ekonomi, politik, dan kultural.
Neoliberalisme tidak lain adalah kapitalisme dengan spirit yang lebih progresif.
Paham ini berintikkan minimalisasi peranan pemerintah dalam urusan ekonomi dan
menyerahkannya kepada pasar. Ini didasarkan pada anggapan bahwa pasar dapat
mengurus dirinya sendiri, bukan diatur oleh otoritas kekuasaan di luarnya.
Bentuk-bentuk intervensi pemerintah dianggapnya sebagai ancaman terhadap
kebebasan, dalam pengertian merusak kebebasan pasar. Secara praktis, pelaksanaan
paham ini secara terukur dapat dilihat dari liberalisasi perdagangan, keuangan,
dan investasi swasta, termasuk privatisasi tanggung jawab sosial pemerintah.
Intinya adalah agar perdagangan barang dan jasa bisa berlangsung secara bebas,
begitu juga pergerakan modal, dan kebebasan dalam investasi dalam konteks global.

Kedua, neoliberalisme merupakan paham yang utopis, karena tidak ada bukti
sejarah yang menunjukkan pasar dapat bergerak tanpa campur tangan pemerintah.
Hanya dari tangan pemerintah yang konkret melalui berbagai peraturan pasar dapat
digerakkan. Dengan kata lain, apa yang disebut dengan ‘pasar bebas,’ dan ‘perdagangan
bebas,’ bukan sesuatu yang ‘terjun bebas’ dari langit, tetapi dibikin oleh
pemerintah, melalui rapat-rapat di parlemen, di kantor-kantor kementrian, atau
di hotel-hotel berbintang. Tidak peduli seperti apa pemerintah itu, baik yang
terpilih melalui demokrasi borjuis maupun yang memperolehnya melalui kudeta
berdarah. Bahkan, demi pasar, semua bentuk pemerintah dapat menyebar teror
dengan aneka cara.

Ketiga, ide-ide neoliberalisme secara evolusioner telah berkembang sejak awal
Orde Baru, dan berlangsung lebih cepat setelah keruntuhan regim Orde Baru. Hal
ini bisa dilihat pada mata rantai kebijakan pro-pasar yang tidak putus sejak
kejatuhan rejim Soekarno hingga paska kejatuhan rejim Soeharto. Salah satu aspek
paling menyolok dari perkembangan neoliberalisme di Indonesia adalah
perkembangan industri-industri berbasis sumber daya alam, seperti yang sudah
ditunjukkan dalam pertambangan dan perkebunan. Ekstraksi surplus dalam kedua
industri ini berlangsung massive setelah liberalisasi investasi dan perdagangan,
perlindungan terhadap hak-hak milik individu, dan termasuk penggunaan aparat
bersenjata. Perpindahan rejim dari Orde Baru yang berwatak diktator ke rejim-rejim
reformasi tidak punya arti apa-apa dilihat dari sisi hubungan antara negara dan
modal. Fungsi kedua rejim sebagai pengurus kepentingan kaum borjuis tetap saja
berlangsung, dengan melakukan apapun agar pengerukan kekayaan dapat terus
bekerja.

Keempat, fakta-fakta tersebut mengantarkan kita untuk mempertanyakan pengertian
freedom, yang dirayakan selama sebelas tahun reformasi. Untuk siapa sebenarnya
freedom itu?. Tampaknya, sangat paradoks, ketika mahasiswa dan LSM bebas
berunjuk rasa, wartawan menikmati kebebasan pers, dan tumbuh subur political
entrepreneurs, sementara dalam waktu yang sama praktek-praktek akumulasi
primitif berlangsung hari-hari di depan mata, yang menyisakan puluhan juta orang
yang tidak bersuara.

KEPUSTAKAAN
Aditjondro, G.J. (2006) Dinamika Politik Dan Modal Di Sulawesi: Apa yang dapat
dilakukan oleh para aktor prodemokrasi?, Makalah disampaikan dalam pertemuan
aktivis di Palu.
Aditjondro, G.J. & Kowalewski, D. (1994) Damning the Dams in Indonesia: A Test
of Competing Perspectives, Asian Survey, 34 (4): 381-395.
Alexander, R.J. (1978) the Tragedy of Chile, London: Greenwood Press.
Anonymous (N.D.a) Laporan Perkembangan Konflik Agraria Periode Januari-April
2007. [online]. Dapat diakses melalui: http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=124&Itemid=99.
[Akses: 5-6-2009].
Anonymous (N.D.b) Ratusan Petani Langkat Ditangkap Polisi atas ‘Sponsor” Buana
Estate, [online]. Dapat diperoleh melalui: http://api-indonesia.blog.friendster.com/
[akses: 5-6-2009].
Anonymous (N.D.c) US mining giant still paying Indonesia military. [Online].
diakses melalui:http://www.google.com/hostednews/afp/article/ALeqM5jJMKtoD9LnT34URkkkJmTjaSf8EA¨.
[Akses: 5-6-2009].
Arismunandar, S. (2008) Memilih Bunuh Diri Karena Kenaikan Harga BBM, [online].
Dapat diakses melalui: http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=8238. [akses
pada 5-6-2009].
Beeson, M. dan Islam, I. (2006) Neo-liberalism and East Asia: Resisting the
Washington Consensus, dalam K. Hewison & R. Robison (eds.) East Asia and the
Trials of Neo-Liberalism, London: Routledge.
Benyamin, A. & Kartini, Ms. (1998) Forced Eviction in Jakarta, in Fernandes, K.
(ed.) Forced Eviction and Housing Right Abuse in Asia, Karachi: City Press.
Block, F. (2001), Introduction, dalam K. Polanyi, Great Transformation: The
political and economic origins of our time, Boston: Beacon Press. p.xxiv.
Bunte, M. & Ufen, A. (eds.) (2009) Democratization in Post-Suharto Indonesia,
London: Routledge.
Carrere, R. (2006) Oil Palm: From Cosmetics to biodiesel, colonization lives on,
Montevideo: WRI.
Casson, A. (2002) the political economy of Indonesia’s oil palm subsektor dalam
C.J. Cofler & I.A.P. Resosudarmo, (eds.) Which way forward? : people, forests,
and policymaking in Indonesia, Singapore: Institut of Southeast Asian Studies.
Colchester, M., et.al, (N.D.) Promised Land Palm Oil and Land Acquisition in
Indonesia: Implications for local communities and Indigenous Peoples,
unpublished paper.
Cribb, R. (2002) ‘Unresolved problems of Indonesian Killings in 1965-1966’,
Asian Survey, 42 (4): 550-563.
Cribb, R. (2000) From Petrus to Ninja, in Campbell, B.B. & Brenner, A.D. (eds.)
Death Squads in Global Perspective: Murder and deniability, New York: Martin’s
Press.
Crouch, H. (1978) the Army and Politics in Indonesia, Ithaca, N.Y: Cornell
University Press.
Cypher, J. M. (2007) From Military Keynesianism to Global-Neoliberal Militarism,
Monthly Review, 59 (2): 37-55.
Dijk, K.V (2001) a Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000, Leiden:
KITLV Press.
Emel, J. dan Huber, M.T. (2008) a Risky Business: Mining, rent and the
neoliberalization of “risk”, Geoforum (39): 1394.
Farid, H. (2005) Indonesia’s original sin: mass killings and capitalist
expansion, 1965-66, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 6, Number 1, p.3-16.
Flew, A. (1996) the Influence of the Discipline of Philosophy in Post-War
Britain (dalam
Wawancara dengan A. Seldon), Contemporary British History, 10 (2):117 — 125.
Friedman, F. (1962) Capitalism and Freedom, Chicago: The University of Chicago
Press.
Gelder, J.W.V. (2004) Greasy Palms: European buyers of Indonesian palm oil,
London: Friends of the Earth, Ltd.
Gray, J. (1998) Hayek on Liberty, London: Routledge.
Hadiz, V.R. & Robison, R. (2006) Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidation:
the Indonesia paradox, dalam K. Hewison & R. Robison (eds.) East-Asia and the
Trials of Neoliberalism, London: Routledge. pp. 24-45.
Hadiz, V.R., (1997) view details mark Workers and the State in New Order in
Indonesia, London: Routledge.
Harvey, D. (2007) Neoliberalism and Creative Destruction, ANNALS, AAPS, 610,
March, p.34-5.
Harvey, D. (2005), a Brief History of Neoliberalism,’ Oxford: Oxford University
Press.
Harvey, D. (2003) the New Imperialism, Oxford: Oxford University Press.
Hayek, F.A. (1960) the Constitution of Liberty, London: Routledge & Kegan Paul.
Hayek, F.A. (1944) the Road to Serfdom, Chicago: University of Chicago Press.
Ikenberry, G.J. (2001-2002) American Grand Strategy in the Age of Terror,
Survival, 43(4):19-34.
Jenkins, D. (1987) Suharto and His Generals: Indonesian Military politics 1975 –
1983, Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project.
Klinken, G., (2007) Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small
Town Wars, London: Routledge
Larson, D.F. (1996) Indonesia’s Palm Oil Subsector, Policy Research Working
Paper, The World Bank.
Leith, D. (2002) the Politic of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia. Honolulu:
University of Hawai.
Letelier, O. (1976) Economic Freedom’s’ Awful Toll: The ‘Chicago Boys’ in Chile,
Review of Radical Political Economics, 8(3):44-52.
Lowry, R. (1996) the Armed Forces of Indonesia, NSW: Allen & Unwin.
Lucas, A. (1992) Land Disputes in Indonesia: Some current perspectives,
Indonesia, 53:79-92.
Mann, M. (1984) Capitalism and militarism, in M. Shaw (ed.) War, State, and
Society, London: McMillan Press, p.25-46.
Marx, K. (1990) Capital: A critique of political economy, Volume I, London:
Pelican Books (reprinted in Penguin Classic).
May, B. (1978) the Indonesian Tragedy, London: R. & K. Paul, 1978.
McGregor, K.E. (2007) History in Uniform: Military ideology and the construction
of Indonesia’s past, Honolulu: University of Hawai Press.
Naim, M. (2000) Washington Consensus or Washington Confusion?, Third World
Quarterly, 21(3): 505–528.
Perlez, J. dan Bonner, R. (2005) the Cost of Gold, The Hidden Payroll: Below a
mountain of wealth, a river of waste, New York Times, December 27. [Online].
dapat diakses melalui:http://www.nytimes.com/2005/12/27/international/asia/27gold.html?pagewanted=1&_r=1&ei=5070&en=0ee1bc8941899f9f&ex=1138078800
[akses 5-6-2009].
Petras, J. dan Leiva, F.I. (1994) Democracy and Poverty in Chile: The limits to
electoral politics, Oxford: Westview Press.
Polanyi, K. (2001[1944]) the Great Transformation: The political and economic
origins of our time, Boston: Beacon Press.
Ransom, D. (1970) Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre, Ramparts, October.
pp. 27-29.
Robinson, K.M. (1986), Stepchildren of Progress: The political economy of
development in an Indonesia mining town, Albany: State University of New York.
Roosa, J. (2006) Pretext for Mass Murder: The September 30th movement & Suharto’s
coup d’tat in Indonesia. Wisconsin: University of Wisconsin.
Rosser, A. (2002) the Politics of Economic Liberalisation in Indonesia: State,
market, and power, Richmond: Curzon Press.
Singer, P.W. (2003) Corporate Warrior: the rise of the privatized military
industry, Ithaca: Cornell University Press.
Stiglitz, J.E. dan Bilmes, L.J. (2008) the Three Trillion Dollar War: the true
cost of the Iraq, New York: Norton, W. W. & Company, Inc.
Stiglitz, J.E. (2006) Globalism’s discontents in D.B. grusky & S. Szelenyi (eds.)
The Inequality Reader : contemporary and foundational readings in race, class,
and gender, Boulder, Colo. : Westview Press.
Whyte, D. (2007) the Crimes of Neo-liberal Rule in Occupied Iraq, BRIT. J.
CRIMINOL. 47 (2): 177–195.
Wie, T.K. (2002) the Indonesian Economic Crisis and the long Road to Recovery, a
paper presented in XIII International Economic History Congress Buenos Aires, 22-26
July.
Williamson, J. (2004) the Washington Consensus as Policy Prescription for
Development, A lecture in the series “Practitioners of Development” delivered at
the World Bank on January 13.
Williamson, J. (2000) What Should the World Bank Think about the Washington
Consensus?, The World Bank Research Observer, 15 (2): 251-64.
Winters, J.A. (1999) Indonesia: On the Mostly Negative Role of Transnational
Capital in Democratization, in Armijo, L.E. (ed.) Financial Globalization and
Democracy in Emerging Markets, New York: Martin’s Press, Inc.
Dapat diakses melalui: http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=8238. [akses
pada 5-6-2009].
VHR Media.com (2007) Penyebab Utama Kemiskinan: 50.000 Orang Indonesia Bunuh
Diri Selama 3 Tahun Terakhir, 16 November.
Yergin, D. dan Stanislaw, J. (1998) the Commanding Heights: the battle between
government and the marketplace that is remarking the modern world, New York:
Simon & Schuster.

This entry was posted on Sunday, July 12th, 2009
Comments
3 Comments

3 komentar:

Unknown 16 November 2012 pukul 08.10  

No comment

Unknown 16 November 2012 pukul 08.12  

semua adalah suatu proses dalam suatu pemerintahan

Unknown 16 November 2012 pukul 08.16  

semua adalah suatu proses pemerintahan dimana semua kebijakan bergantung pd pengguna kebijakan dalam suatu negara namun kita bisa jadikan patokan dari sistem pemerintahan yg digunakannya

Posting Komentar

Arsip

Site Meter